Prospek Pengembangan Agribisnis Kelapa
Baru segelintir produsen Indonesia
mencetak keuntungan dari proses nilai tambah kelapa. Dari buah murah yang
berlimpah di Indonesia ini, pasar Eropa “melahap” minyak masak berkualitas
terbaik, pengisi jok Mercedes, briket termahal untuk barbeque, hingga sabun dan
parfum.
Filipina saat ini merajai pasar
ekspor dengan 125 jenis produk olahan kelapa. Sebaliknya, baru 25 jenis produk
olahan diproduksi di Indonesia.
Tahun 2005, Filipina mengantungi
keuntungan ekspor kelapa senilai 757,3 juta dollar AS dari perkebunan seluas
3,1 juta ha. Pada saat yang sama, dengan perkebunan seluas 3,8 juta ha, nilai
ekspor kelapa Indonesia hanya 228,7 juta dollar AS.
Beberapa anggota Fokpi merupakan
industri pengolahan kelapa skala kecil dan menengah dengan beragam variasi
produk. Produsen anggota Fokpi di Pangandaran, Jawa Barat, misalnya, mengekspor
sabut kelapa untuk isian jok mobil ke Eropa, yakni sebanyak 120 ton per bulan.
Dengan total lahan yang ditanami kelapa hampir satu juta hektar pulau jawa
menyimpan potensi untuk pengembangan agribisnis kelapa di masa mendatang.
Daya saing produk kelapa terletak
pada industri hilirnya, tidak lagi pada produk primer. Produk akhir yang sudah
berkembang baik adlah Dessicated coconut (DC), coconut milk(CM), coconut
charcoal(CCL), actived carbon (AC),Brown Sugar (BS),coconut fiber, coco peat,
nata de coco dan Virgin coconut oil (VCO), coconut wood.
Produk-produk seperti
DC,CCL,AC,BS,CF sudah masuk pasar ekspor dengan perkembangan yang sanagat
pesat. Permintaan pasar ekspor untuk produk olahan kelapa menunjukkan trend
yang meningkat. Sebagai contoh pasar DC indonesia untuk ekspor mempunyai
kecenderungan yang meningkat dalam 5 tahun terakhir, kecenderungan yang sama
ditunjukkan oleh arang aktif.
Sebagai contoh adalah Roeswan
seorang pengusaha coco fiber.Seluruh produksi berupa serat sabut dari
petani ia tampung untuk memenuhi pasar ekspor. Di pasar internasional,
harga cocofiber alias serat sabut US$200-US$205 per ton setara Rp2-juta pada
kurs Rp10.000. Pendapatannya Rp44-juta.
Shengyang, produsen kasur pegas dan
mebel, meminta pasokan 700 ton serat sabut untuk masa kontrak 12 bulan.
Artinya, ia mesti menyiapkan rata-rata 58 ton tiap bulan selama setahun. Ia
lebih berkonsentrasi untuk memenuhi permintaan Shengyang Xudong ketimbang
importir lain. Di luar permintaan Korea dan Belgia, ‘Sebetulnya saya masih
dapat menjual 5-10 kontainer per bulan,’ ujar Roeswan, pemilik PT Roesmetrix.
Pasar karbon dan arang aktif tak
kalah besar. Ari Hardono, contohnya, memasarkan 20 ton arang aktif per bulan.
Satu kg arang aktif hasil pembakaran 9-10 tempurung kelapa. Konsumennya rumah
makan di Yogyakarta dan Jawa Tengah. Mereka menggunakan arang aktif sebagai
bahan bakar. Dengan harga Rp1.200 per kg omzetnya Rp24- juta. Menurut produsen
di Kabupaten Sleman, Yogyakarta, itu biaya produksi sekilo arang aktif Rp600
sehingga laba bersihnya Rp12-juta tiap bulan.
Pasar cocofiber alias serat sabut
kelapa tak kalah empuk. Serat sabut juga multiguna antara lain sebagai pengisi
jok mobil, jok kursi, kasur pegas, papan partikel, dan filter air. Dibanding
busa, cocofiber lebih kuat melindungi per dan tidak mengundang kutu.
Pelaku bisnis serat sabut di
berbagai kota kewalahan memenuhi tingginya permintaan. Asli Malin, salah satu
contoh. Produsen serat sabut di Pariaman, Sumatera Barat, itu memproduksi 1,2
ton serat hasil olahan 18.000 sabut per hari. Jangankan memenuhi permintaan importir
di Korea Selatan mencapai 10.000 ton per tahun, order eksportir di Jakarta saja
belum ia layani sepenuhnya. Setiap pekan, eksportir di Jakarta memborong serat
Rp1.800 per kg.
Pria kelahiran 17 April 1946 itu,
memetik laba bersih Rp300 per kg. Kecil? Tunggu dulu. Dengan produksi 8,4 ton
per pekan, laba bersihnya Rp2,5- juta atau Rp10-juta per bulan. Itu baru dari
cocofiber. Produsen serat sabut berarti juga produsen cocopeat alias serbuk.
Sebab, 70% dari kulit kelapa terdiri atas serbuk; 30% serat. Asli Malin menuai
90 ton cocopeat yang memberikan laba bersih Rp27-juta sebulan.
Artinya total jenderal laba bersih
Malin dari pengolahan sabut mencapai Rp37-juta sebulan. Siapa tak tergiur laba
menjulang? Mungkin karena itulah Zulhaidir Rawawi berhenti bekerja di
perusahaan asing di Jakarta meski bergaji besar, fasilitas memadai, dan jabatan
tinggi. Ia memilih menekuni bisnis cocopeat. Semua bermula dari tugas Zulhaidir
sebagai general manager yang kerap memaparkan laporan keuangan kepada pemegang
saham di Seoul, Korea Selatan.
Saat bertugas ke sana, ia
menyempatkan diri mengunjungi sentra tanaman hias di Inchon, mirip Rawabelong,
Jakarta Barat. Di sanalah ia melihat cocopeat bikinan Sri Lanka. Ia menawarkan
diri untuk memasok dan diluluskan. Pada 1999 Zul memutuskan berhenti bekerja
setelah rutin mengekspor cocopeat selama setahun. Kini ia rutin mengirimkan 22
ton cocopeat per bulan memenuhi permintaan seorang importir di Inchon, Korea
Selatan.
Balok cocopeat yang ia ekspor
berukuran 80 cm x 80 cm x 80 cm berbobot 5 kg. Satu kg cocopeat berasal dari
2,5 kg sabut kelapa. Menurut dia biaya produksi 1 kg cocofibre dan 2 kg
cocopeat-dari 5 kg sabut-Rp1.600. Itu total biaya karena cocopeat dan cocofibre
dihasilkan dari satu kesatuan bahan. Bila memproduksi cocopeat, pasti
menghasilkan cocofiber atau sebaliknya. Harga jual cocopeat di pasar ekspor
mencapai Rp2.600 per kg sehingga omzetnya Rp57,2-juta.
Zulhaidir memperoleh 17 ton
cocofiber per bulan. Serat sabut itu ludes terserap produsen kasur pegas di pasar
domestik. Dengan harga jual Rp2.200 per kg, ia menangguk omzet Rp37,4-juta
saban bulan. Laba bersih penjualan cocopeat dan cocofiber mencapai Rp22-juta
sebulan. Zul sebetulnya masih mampu memasarkan hingga 3 kontainer cocopeat
lagi. Sayang, produksinya masih terbatas. Ia bisa memasarkan produk cocopeat
milik produsen lain asal sesuai standar mutu. Apalagi sejak Desember 2008 ia
juga mesti memenuhi order Garden Landscape. Importir di Singapura itu meminta
pasokan rutin papan tempat tumbuh anggrek berbahan baku cocopeat.
Garden Landscape meminta kiriman
10.000 papan berukuran 50 cm x 20 cm x 2 cm per bulan. Soal peluang bisnis
cocopeat menurut Zul pasar terbuka luas. Zul yang menginvestasikan Rp200-juta
ketika memulai bisnis. Sebagai gambaran, sebuah produsen springbed memerlukan
20 ton cocofiber per bulan. Belum lagi produsen springbed asing yang mengajak
bekerja sama. Setidaknya ada 4 produsen asal China dan 2 asal Vietnam yang
minta pasokan rutin cocofiber kepada Zul.
Olahan limbah kelapa lain adalah
arang aktif. Idealnya pengolahan arang aktif terpadu dengan asap cair. Namun,
beberapa produsen hanya mengolah arang aktif. Boleh jadi lantaran teknologi
produksi asap cair terbilang baru di Indonesia. Djaya Suryana sejak 2002
memasok arang aktif ke sebuah perusahaan di Tanjungbintang, Provinsi Lampung.
Ia membersihkan arang hasil
pembakaran tempurung kelapa di mesin diesel 30 PK. Melalui ban berjalan arang
lolos sortir masuk ke mesin penghancur. Ketika keluar arang melewati saringan
baja sehingga hasilnya seragam. Djaya memasarkan 3.000 ton arang aktif per
bulan. Masih ada 5.000 ton permintaan rutin per bulan yang belum dapat Djaya
penuhi. Sayang, ia merahasiakan harga jual ke produsen karbon aktif.
Lima puluh rupiah tak bisa dibilang
kecil karena secara akumulasi laba bersihnya Rp150-juta. Memang dibanding laba
Doddy Suparno dan Oka Bagus Panuntun, keuntungan Djaya lebih kecil. Doddy
mengutip laba Rp1.500 per kg arang aktif. Harga jual saat ini Rp4.500 per kg.
Menurut Doddy biaya produksi per kg briket Rp3.000. Dari pembakaran 15 ton
tempurung ia memperoleh 5 ton arang aktif per bulan.
Mereka lalu menghancurkan arang dan
mengolahnya menjadi briket. Margin perniagaan barang gosong itu Rp7,5-juta
sebulan. Mestinya laba Doddy lebih besar jika saja setiap bulan mampu memenuhi
permintaan rutin dari Yunani dan Timur Tengah masing-masing 22 ton dan 88 ton.
Di luar olahan ‘limbah kelapa’ itu
sebetulnya masih ada produk turunan lagi seperti tepung tempurung seperti
digeluti oleh Agus Setiawan. Pria kelahiran 11 Agustus 1971 itu menggiling
tempurung kelapa menjadi tepung. Rendemen 90%-10 kg tempurung menjadi 9 kg
tepung.
Volume produksi ‘baru’ 50 ton
sebulan terserap sebuah pabrik obat nyamuk. Tepung batok bahan baku obat nyamuk
bakar. Dengan harga jual Rp2.500 dan biaya produksi Rp1.000, laba bersihnya
Rp75- juta. Menurut Agus pasar tepung terbentang luas. Ia belum sanggup
melayani order rutin 1.350 ton tepung per bulan.
Sabut dan tempurung kelapa yang
selama ini dipandang sebelah mata ternyata komoditas prospektif yang
menjanjikan laba besar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar